Sunday, April 15, 2018

Bakau Kebaikan (3): Monyet yang Bersedih

Paman Zaki terus mendayung dan membawa sampan merapat ke sebuah dermaga. Dari kejauhan tampak beberapa orang berdiri dan kerumunan lainnya. Alang mengerti sekarang. Sama saja rupanya seperti angkutan kota. Hanya bedanya, ini angkutan air.
Iqbal melambaikan tangan saat melihat Alang, Yuda dan Paman Zaki. Alang juga berdiri dan melambaikan tangan. Lalu sampan mereka bergoyang dan Yuda menyuruhnya duduk lagi. Duh, Alang lupa. Untuk saja mereka tidak jatuh. Tidak seru kan kalau mereka terjatuh. Mereka pasti akan langsung pulang dan acara jalan-jalannya dibatalkan.
Saat sampan merapat ke dermaga, Iqbal naik dengan hati-hati. Dia bersama ayahnya. Tapi Ayahnya tidak ikut naik. Hanya mengantar saja.
“Nah, ayo, berlayar lebih jauh!” Yuda bergaya seperti seorang nakohda.

Mereka tertawa.
Saat Paman Zaki mengemudikan sampan, mereka bertiga bercerita. Bertanya apa kabar, bagaimana sekolah, teman-teman di sekolah, guru, dan hal menyenangkan lainnya. Iqbal juga bercerita tentang homeschoolingnya.
Alang hanya mendengarkan dengan takjub. Masih tidak mengerti apa yang saja yang dilakukan siswa homeschooling.
“Nah, disana Pasir Putih,” Paman menunjuk sebuah daratan yang dipenuhi pohon-pohon bakau di sekitarnya. Pembicaraan mereka terputus. Mereka memperhatikan pulau kecil yang disebut Pasir Putih itu. Tidak ada apa-apa disitu selain pohon bakau termasuk kayu api-api, -yang menurut penjelasan Paman adalah sejenis pohon yang batangnya dapat dijadikan tiang rumah oleh penduduk di sini-, dan titi untuk pemberhentian boat.
“Alang tidak melihat apapun yang menarik,” tanya Alang heran.
Pertanyaan Alang terjawab dengan cepat saat ada sebuah boat yang merapat ke wilayah itu. Para penumpang dalam boat itu membawa sebuah karung besar dan seketika ratusan monyet keluar, entah dari mana, dan memenuhi tempat itu. Belum sempat boat itu merapat ke pulau, para monyet sudah mulai berlompatan ke laut dan berenang mendekati boat. Puluhan monyet melompat, berenang dan berhasil naik ke dalam boat penumpang itu.
Monyet-monyet itu sangat agresif. Mereka mulai mengambil karung yang dibawa oleh para penumpang. Ketika diserbu oleh monyet, paman penumpang yang memegang karung pun melepaskannya. Isi karung berhamburan. Ternyata isinya pisang.
Ada penumpang yang panik dengan serbuan monyet. Dia mengambil piring, kayu atau apa saja yang berhasil dia raih untuk menghalau para monyet. Saat panik begitu, salah satu penumpang lainnya sempat mengambil karung berisi pisang dan melemparnya ke laut. Monyet-monyet langsung melompat ke laut. Setelah mereka mendapat pisang, monyet-monyet itu kembali ke habitat mereka.
Alang, Yuda, dan Iqbal menatap takjub. Jumlah monyet-monyet itu ternyata ada ratusan.
Bakau-bakau yang tumbuh subur di sekeliling Pasir Putih adalah rumah para monyet. Diantara cabang-cabang pohon bakau, mereka melihat ada beberapa monyet yang bertengger. Ada juga yang bertengger di pohon itu dengan anaknya. Berdasarkan apa yang mereka lihat, anak monyet digendong di perut induknya. Tampak seperti kangguru tapi mereka sendiri tak yakin bahwa monyet juga punya kantung.
“Coba perhatikan lebih baik,” perintah Paman Zaki.
“Ada beberapa monyet yang tidak ikut bersembunyi lagi?” tanya Iqbal.
“Perhatikan apa yang menyangkut di pohon tempat mereka tinggal.”
Mereka lalu memperhatikan pohon-pohon bakau itu. Beberapa sampah plastik tampak tersangkut di batang pohon yang menjadi rumah monyet-monyet. Laut dan rumah mereka tampak kotor karena sampah. Sampah-sampah itu juga ada di daratan Pasir Putih. Alang bahkan baru sadar  bahwa di sekitar mereka, ada beberapa sampah yang hanyut.
Oh, sampah? Alang langsung teringat bahwa dia juga sudah membuang sampah ke laut dan marah pada Yuda karena membentaknya, “Maaf ya, seharusnya aku tidak membuang sampah ke laut,” ucap Alang menyesal.
“Maafkan aku juga. Seharusnya aku tidak membentakmu. Aku menjadi sedih saat melihat laut menjadi kotor,” ucap Yuda dan keduanya pun bersalaman.
Jika semua orang membuang sampah ke laut, laut pasti akan menjadi sangat kotor. Lalu siapa yang akan membersihkannya? Lihatlah, selain sampah, laut juga sudah tercemar oleh minyak dan limbah lainnya. Duh, kasihan sekali para monyet, ikan, kepiting, bangau dan hewan laut lainnya yang pasti bersedih melihat laut menjadi kotor.
“Aku tak akan membuat mereka sedih lagi,” janji Alang. Monyet-monyet itu pasti tidak suka rumah mereka menjadi kotor karena kita. “Oh, saat pulang nanti, aku akan menunjukkanmu koleksiku.”
“Koleksi apa?” tanya Yuda dan Iqbal penasaran.
“Rahasia,” jawab Alang dan tersenyum senang mengingat koleksi siput cantik beraneka warna yang belum sempat dia tunjukkan pada mereka berdua.
Setelah puas berkeliling, Paman Zaki, Alang dan Yuda pun akhirnya pulang.
Begitu boat yang mereka merapat ke daratan, Alang langsung mengambil koleksi siputnya dan menunjukkannya pada Yuda. Tapi...
“Laut juga punya koleksinya,” ucap Yuda. Yuda lalu menunjukkan siput-siput yang menempel di kayu-kayu jembatan. Bahkan ada juga siput yang sedang berjalan di papan jembatan itu.
 “Ooohhh,” ucap Alang dengan bibir membulat. Dia tidak melihat siput-siput itu tadi. “Lihat,” Alang mengeluarkan siput-siput koleksinya dan melepaskan siput-siputnya, “Sekarang mereka bisa menjadi teman seperti kita.”
Yuda dan Iqbal senang sekali mendengarnya. Siput-siput itu juga pasti senang. Kini, siput-siput itu mempunyai teman-teman baru dan mereka bisa bermain bersama. Tapi, mungkinkah siput-siput itu juga akan sedih karena tempat tinggal mereka juga tercemar? Mari jaga kelangsungan habitat mereka bersama.

No comments:

Post a Comment