Tuesday, September 17, 2019

Pola Belenggu di Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir terkenal dengan pola hidup yang berputar pada kehidupan nelayan dan laut. Tak dapat dipungkiri, di banyak lokasi pesisir, yang otomatis berada sangat dekat dengan laut, menjadi nelayan adalah pekerjaan mayoritas penduduk. Mengajarkan kemampuan dasar melaut menjadi kesenangan sendiri bagi orangtua yang menjadi nelayan. Laut tak pernah menolak siapapun, katanya. Maka, ketika generasi muda tidak mempunyai keterampilan lain, mengikuti jejak generasi sebelumnya adalah opsi yang mereka pilih. Tapi, benarkah itu pilihan? Apa yang terlintas di benak orang-orang ketika mendengar kata pesisir? Sedihnya, gambaran lain tentang masyarakat pesisir adalah kemiskian.

Kemiskinan adalah momok banyak orang. Kesenjangan sosial terlihat jelas antara mereka dengan kemampuan ekonomi yang berbeda di perkotaan. Hal yang sama terjadi di masyarakat pesisir. Bedanya, kemiskian adalah hal yang kental sekali dalam kehidupan mereka. Sebagai pengunjung, orang-orang mungkin sesekali melihat rumah dengan tiang yang miring, kayu yang reyot dengan jejak serangga pemakan kayu hingga anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki. Tapi, sebagai penduduk, pemandangan itu adalah kehidupan keseharian mereka.
Masyarakat yang umumnya melaut bergantung sepenuhnya pada hasil lautan. Sosok ayah sebagai nelayan menghabiskan waktu di lautan. Saat hasil tangkapan melimpah, pendapatan membaik. Saat laut sedang tak bersahabat, perekonomian juga melambat. Sosok ibu yang harus mengatur kehidupan ekonomi serba terbatas seringnya turut bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Lalu, tanpa kehadiran orangtua di rumah, anak-anak lebih senang bermain. Tanpa sadar, mereka akan mengikuti jejak orangtuanya dan generasi berputar pada lingkaran yang sama.
Kehidupan ekonomi mereka mungkin menjadi penyebab utama. Pendapatan tak tetap masyarakat pesisir menjadikan kehidupan tidak memiliki kepastian. Ketidakpastian materil membuat orangtua tak berani menyekolahkan anaknya hingga tingkat atas. Tidak ada uang sekolah dan serangkaian dana pendidikan lain menjadi alasan. Pekerjaan mayoritas lain bagi masyarakat pesisir adalah pekerja pabrik dan kerja serabutan lainnya dengan tingkat pendapatan yang tak jauh berbeda.  
Sampai kapan pola ini berlanjut? Terdengar seperti retorika tapi ini adalah masalah sosial yang harusnya menjadi perhatian kita. Orang-orang lupa bahwa keterbatasan bukanlah pilihan. Mereka yang terbiasa dengan kemiskian tidak akan menganggap bahwa hal tersebut dapat diubah. Zona nyaman ini terlihat seperti masalah ringan. Sedihnya, ketika dikaji, apa yang masyarakat anggap hal biasa ini menjadi penyebab masalah lain. Terciptanya lingkungan kumuh adalah salah satu contohnya.
Masyarakat pesisir, yang belum mendapat pendidikan tentang konsep pencemaran lingkungan misalnya, akan ringan tangan membuang sampah di laut atau lingkungan sekitar mereka. Satu sampah kecil ini awalnya tidak terlihat. Akan tetapi, semakin banyak yang abai, sampah ini akan semakin menggunung. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Masyarakat dengan keterbatasan ekonomi biasanya tidak mempunyai tempat sampah di rumahnya, tidak terpikir untuk mengumpulkan sampah tersebut di satu tempat, atau mungkin tidak punya waktu untuk sekedar membuat sampah pada tempatnya. Alhasil, sampah yang berserakan menambah kesan suram lingkungan tersebut.
Masyarakat miskin, pendidikan yang buruk, lingkungan yang kumuh menjadi sepaket stereotype yang menjadi kenyataan tanpa inisiasi untuk mengubahnya. Mengkaji lebih jauh, hal-hal tersebut tersebut berpotensi pada meningkatnya angka kriminalitas, masalah kesehatan yang serius dan menurunnya kualitas hidup. Pola ini seperti belenggu dan hanya bisa berubah ketika orang-orang sadar bahwa kita harus bergerak bersama, merubah pola pikir kita, bahwa keterbatasan bukanlah pilihan.

2 comments:

  1. Dinda9:14 PM

    Di tempat aku juga kayak gini kak. Bapaknya nelayan, anaknya juga.

    ReplyDelete
  2. Tari Sn11:19 PM

    Memang banyak terjadi, Kak. Saya juga tidak mempermasalahkannya. Kan kita butuh ikan. Yang jadi concern saya itu, harusnya kita lebih fokus pada pendidikan dan lingkungan. Jadi kondisi anaknya lebih baik daripada orangtua. Semisal jadi nelayan milenial yang bisa ngecek dimana banyak ikan pakai radar :D

    ReplyDelete