Perubahan adalah hal pasti yang
akan selalu manusia temui. Perabadan pun berlaku sama, ia terus berubah
mengikuti perkembangan manusia itu sendiri. Banyak hal yang sudah kita lakukan
untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik mulai dari penemuan aneka benda dan
teknologi untuk mempermudah kehidupan manusia hingga perubahan sistem dan
aturan untuk menciptakan kehidupan sosial yang adil dan setara. Banyak dari
kita yang berpikir bahwa perubahan pada peradaban yang terus kita lakoni selama
ini selalu membawa hasil yang baik. Tapi, selayaknya manusia, kita selalu
berperan ganda sebagai pencipta dan penghancur perabadan.
Kita merubah tatanan sistem untuk
memecahkan masalah. Di lain pihak, masalah itu tetap terjadi dan semakin meluas
memasuki ranah lainnya. Kemiskinan masih menjadi masalah utama di banyak
negara, lalu menjalar pada tingkat pendidikan yang rendah hingga perbudakan
bergaya modern.
Kemiskinan dikambinghitamkan
sebagai akar dari banyak masalah yang dihadapi masyarakat saat ini. Kita
menyalahkan taraf hidup yang rendah sebagai sumber kriminalitas. Lalu,
kemiskian pula yang disalahkan untuk masalah kelaparan dan taraf kehidupan dan
pekerjaan yang tidak layak. Negara ini adalah negara kaya yang mampu memberi
subdisi untuk masyarakatnya. Pemerintah memberikan subdisi bantuan dasar mulai
dari kebuhan pangan dan keuangan untuk lapisan masyarakat yang dalam acuan
tertentu disebut sebagai masyarakat miskin. Hal yang selalu menjadi kontroversi
dalam hal ini adalah benarkah hal ini tepat guna?
Hidup tanpa adanya kemiskian adalah
utopia. Tapi ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya. Saya
lahir di lingkungan keluarga miskin yang selalu menjadi prioritas dalam proses
pembagian subdisi tersebut. Puluhan tahun terakhir, ketika para pemimpin
menjual janji aneka subsidi untuk membantu rakyat, kehidupan masyarakat miskin
yang mendapat bantuan tersebut tidak berubah banyak. Kasarnya, mereka bahkan
tidak mengalami peningkatan taraf hidup sama sekali. Bantuan tersebut hanya
bersifat sementara.
Alangkah baiknya, jika jumlah dana
spektakuler tersebut dialihkan untuk hal lain seperti perbaikan pendidikan,
memperbanyak taman baca, pembuatan sarana publik yang bermanfaat, mempermudah
bantuan dana untuk kelompok usaha dan penelitian. Menurut saya, akar dari semua
masalah adalah pendidikan. Teknologi berkembang pesat dan terus berubah
menyesuaikan zaman. Generasi berubah. Lingkungan dan iklim juga tidak kalah
eksis mengikuti perubahan tersebut. Tapi, pendidikan kita masih berpijak pada
pedoman era terdahulu.
Di era millennial, dimana informasi
berada di ujung jari dan pemuda masa depan yang kita impikan sebagai pemimpin
negeri lebih kencanduan pada gawai, saatnya sekolah berinovasi. Sekolah harus
berhenti menjadi mimpi buruk untuk siswanya. Para pengajar harus berhenti
mendikte para pelajar untuk mengikuti apa yang kita anggap baik bagi mereka
–dengan duduk, mendengarkan guru, mencatat isi buku dan tulis di papan tulis
seperti metode yang sama seratus tahun lalu, lalu pulang dengan setumpuk
pekerjaan rumah dengan dalih para pengajar agar para siswa tersebut tidak
mempunyai waktu untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai etika dan moral.
Pendidikan kita harus mengikuti
zaman, mengajarkan skill yang dapat diaplikasikan pada kehidupan. Kemampuan
bertahan hidup dan menempatkan diri dalam masyarakat adalah pilar penting yang
harusnya kita ajarkan pada mereka. Mencecoki mereka dengan pendapat kita,
memaksa, menggunakan kekekerasan fisik dan mental adalah cara purba yang
harusnya sudah musnah sejak dulu. Pengajar harus menjadi teman, menjual diri
lebih baik dan menjadi lebih menarik dan informatif daripada gawai dan segala
berita yang bertebaran di dalamnya.
Kita tidak memerlukan resolusi dan
serangkaian uji coba untuk diterapkan para para siswa jika pengajarnya masih
menggunakan sistem yang sama. Pengajar adalah pilar pendidikan yang utama, dan
pelajaran harusnya bersifat informatif dan factual. Merujuk kamus kekinian yang
generasi millennial gunakan, saatnya move on dari buku kuning nan berdebu yang
isinya sudah tidak sesuai dengan era digital ini.
Pengasahan kemampuan dan moral para
pelajar harus menjadi fokus utama pendidikan. Apa masalah yang sebenarnya kita
hadapi? Ketahanan pangan adalah masalah mudah jika kita serius bertindak. Ada
banyak metode penanaman tamanan minim lahan yang bisa dioptimalkan untuk
meningkatkan ketahanan pangan negara. Rakyat hanya perlu pendidikan dan
pelatihan bagaimana cara pengaplikasikannya. Dan negara bertugas melindungi
harga pasaran lokal. Nutrisi akan terpenuhi dengan sendirinya saat harga pangan
di pasaran stabil dalam angka yang mampu dibeli masyarakat tiap kalangan.
Pertanyaan besarnya adalah
bagaimana mendorong kesempatan belajar bisa diraih untuk semua orang. Sudahkah
kita menyebar informasi secara merata? Dalam banyak kasus, program pemerintah
tidak terpublikasi dengan baik. Seperti teori gunung es, publikasi tiap program
hanya menyentuh beberapa kalangan saja sementara masyarakat yang tidak tahu
menahu jauh lebih banyak. Adalah sukses besar bagi sebuah negara jika negara
tersebut mampu menyebarkan informasi yang bermanfaat sebanyak jangkauan berita
hoax yang bertebaran di lini masa.
Membenci perubahan adalah kebodohan
yang fatal. Dunia berubah, generasi berubah, cara tiap individu berinteraksi
juga berubah. Kehadiran media dan retail online juga mengubah banyak hal dalam
pertumbuhan ekonomi kita. Uniknya, kita semua setara di depan sebuah gawai.
Perempuan dan laki-laki berperan sama, yang membedakan adalah bagaimana
individu tersebut mengambil kesempatan. Sebagian generasi tua mungkin masih
buta teknologi. Tapi, kita berinvestasi untuk masa depan, dimana fakta tak
terelakkan menyatakan bahwa gawai sudah menjadi bagian dari keseharian.
Generasi ini membutuhkan arahan
bagaimana memfungsikan teknologi yang mereka pegang saat ini untuk mendukung
pekerjaan mereka dan mempromosikan industrilisasi. Ketatnya persaingan di dunia
digital juga pasti akan memaksa tiap individu untuk menciptakan inovasi baru
yang lebih menarik minat pasar. Tugas yang kita emban saat ini adalah sebagai
penunjuk jalan. Lagi-lagi, kita harus memperbaiki pendidikan itu sendiri.
Sanitasi lingkungan dan pemeliharan
pendidikan juga berhubungan erat dengan pendidikan. Masyarakat kita masih
banyak yang buta huruf. Mereka yang kreatif akan menulis slogan “Dilarang buang
sampah disini,” dalam banyak versi. Lalu, individu buta huruf tersebut tetap
membuang sampahnya. Tidak ada masalah yang selesai jika hanya diperdebatkan. Saya
sendiri pernah mencoba pendekatan dengan menanam pohon di lokasi tempat
pembuangan dadakan tersebut. Sejauh pengamatan saya, program tersebut berjalan
baik. Adanya pohon-pohon disana mengubah niat individu untuk membuang sampah di
tempat tersebut. Peraturan tentang larangan membuang sampah juga harusnya
ditegakkan dengan baik. Sebab, negara yang berdiri tanpa sebuah peraturan yang
ditegakkan hanya akan melihat kekacauan sebagai hasilnya.
Apa kesimpulan dari tulisan hari
ini? Prioristaskan pendidikan yang tepat guna dan tepat masa.
Saatnya negara menjadi terbuka.
Semakin banyak anak bangsa yang sadar akan masalah yang kita hadapi, semakin
besar peluang kita untuk menyelesaikannya. Ketika sebuah negeri ingin
memperbaiki kehidupan rakyatnya, kita harusnya tidak menomorsatukan hal yang
sifatnya sementara.
Kita semua berperan. Ayo ambil peran.
Suka banget ama artikel ini. Panjang sih tapi enak dibaca.
ReplyDeleteTerima kasih sudah membacanya, Kak. Dibanding postingan lain di blog ini, yang ini memang agak panjang sih hehe. Tapi poinnya sederhana: prioritaskan pendidikan.
DeleteLho, lagi online ya, Mbak? Haha kalau baca postingan lain terasa bedanya. Ini lebih formal. Tapi, tetap keren kok, Mbak
DeleteIya, lagi online, Kak. Lagi ada yang sedang yang saya tulis.
DeleteSemangat, Mbak. Saya tunggu tulisan berikutnya.
DeleteHehehe Siap, Kak. Terima kasih.
Delete