Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, budaya, tradisi dan kepercayaan dan kita semua tahu itu. Kita mempelajarinya dalam buku-buku sekolah, melihatnya dalam kehidupan sehari-hari dan semoga kita juga bisa menghargainya. Bhinneka Tunggal Ika, biarpun berbeda tetapi kita satu juga. Tapi, sudahkah kita berpikir terbuka?
Ketika kami berbicara tentang keberagaman, kita terpaksa harus melihat perbedaan. Dengan Cina misalnya. Saya tidak besar dalam lingkungan Tionghoa dan lingkungan saya mendokrin bahwa Tionghoa, yang oleh kita dikatakan Cina, adalah bangsa yang “mentiko”. Kita menganggap bahwa mereka mengekslusifkan diri dan tidak mau berteman dengan pribumi. Dan jujur, saya pernah berpikir seperti itu, bahwa mereka dan saya adalah dua makhluk yang berbeda.
Saya pernah membahas topik ini dengan beberapa teman dalam sebuah grup yang kebetulan dimonopoli oleh suku Tionghoa. Sekumpulan anak SMA lebih tepatnya. Mereka bercerita tentang kisah mereka, tentang kita yang mengaku sebagai pribumi meneriaki mereka, “Oi, Cina”, dan bagaimana mereka diperlakukan berbeda. Mereka bahkan membahas sejarah puluhan tahun silam ketika suku mereka menjadi korban sebuah tragedi. Kita tidak bisa mengubah masa lalu. Jadi mari lihat realita sekarang. Mereka lahir dan tumbuh besar di Indonesia. Tapi, sekumpulan pelajar itu menganggap bahwa mereka “terjajah”. Dan sebagian dari kita menganggap bahwa mereka adalah “penjajah” dan justru kita yang dijajah oleh mereka.
Apa sebenarnya definisi pribumi? Drama ini semakin membingungkan buat saya. Cincai cincai lah (koreksi tulisan saya jika salah) adalah istilah yang pasti sudah akrab kita dengar. Kita menganggap bahwa sesama Cina akan saling membantu, persaudaran mereka kuat dan lainnya. Pernahkah kita bertanya mengapa? Seorang anak SMA menjawabnya dengan baik, “Karena kami hanya pendatang,” jawab anak SMA Cina itu. “Aku sangat mencintai Indonesia. Tapi, dengan mata sipit ini, banyak orang yang menganggap kami hanya pendatang. Lalu, sebagai pendatang, sudah seharusnya kami saling menolong, membantu satu sama lain. Aku tidak pernah ke Cina. Tapi aku yakin, orang Cina di sana sama saja dengan orang pribumi di Indonesia. Mungkin juga, persaudaraan orang Indonesia di sana lebih kuat daripada orang Cina di sini. Kita bersatu karena kita adalah minoritas.”
Sudahkah kita berpikiran terbuka? Sebab, meski di kartu keluarga dan kewarganegaraan orangtua mereka Indonesia, kita mungkin masih menganggap mereka pendatang dan melayangkan serangkaian tuduhan.
Investasikan sedikit waktu kita, mulailah berpikir: apa yang selama ini kita katakan, apa yang selama ini kita pikirkan dan apa yang selama ini kita jelaskan pada keluarga, anak, saudara, lingkungan kita tentang perbedaan suku? Jangan-jangan kita sudah mendoktrin hal negatif pada generasi berikutnya.
Untuk teman diskusi hari itu, terima kasih. Kalian jauh lebih muda dari saya. Tapi, saya akhirnya mengerti, bahwa kita sama-sama dijajah. Kita dijajah oleh rasa benci. Saya belum mengenal Cina dengan baik. Tapi, saya tidak ingin mewariskan kebencian. Salam Bhinneka Tunggal Ika.
No comments:
Post a Comment