Tuesday, February 6, 2018

Belawan, Rumah dengan Lautan Luas


Banyak dari kita yang memberi nama aneh pada seorang teman. Temanku sering memanggilku "Ti" lalu "Tik" dan tanpa sebab yang jelas berubah menjadi Itik. Kau juga pasti mempunyai nama panggilan dan cerita semacam itu. Seperti Aprilia yang kerap dipanggil Pil lalu menjadi Upil misalnya? Tapi, kau tahu apa yang membuat nama Itik terdengar mendrama?


Perkenalkan namaku Itik. Di kartu tanda penduduk, alamatku resmi tertulis Kampung Kolam. Seolah, ya begitulah seharusnya, seorang Itik memang harusnya tinggal di Kolam. Jadi, saat temanku memperkenalkanku pada temannya, dia akan mengatakan seperti ini, "Namanya Itik. Tinggalnya di Kolam." Dan aku hanya tersenyum manis. Semanis senyum seekor Itik sebelum dia menjadi angsa.
Aku tidak menemukan buku sejarah yang merunut silsilah kampungku. Bahkan dalam peta kota saja, kampungku hanya digambarkan berwarna biru: sebuah lautan. Kampung kecil ini berada di Belawan, sebuah kota pelabuhan di gegap gempitanya kota Medan. Kampungku tidak berdiri di atas daratan. Kami mendirikan rumah bermodelkan rumah panggung dengan banyak titi yang saling terhubung. Saat pasang surut, kau bisa melihat tanah lumpur yang menjadi daratan. Tapi saat pasang sedang naik, air pasang menutupi semuanya. Teori kekanakanku mengatakan bahwa alasan tetua dulu menamai kampung ini sebagai Kampung Kolam karena kampung kami persis seperti sebuah kolam besar. Sebuah laut yang diapit daratan.

Aku selalu suka kampungku. Berpuluh tahun berlalu tapi kampungku tidak berubah banyak. Seolah sama, tak tersentuh peradaban. Saat malam hari, aku bisa mendengar suara berang-berang bermain bersama atau malah sedang membangun bendungannya. Lalu, pagi hari saat aku membuka jendela, ada bangau putih yang mencari ikan kecil di sebelah rumah. Orang-orang pernah heboh dengan sebuah ikan yang hidup di dua alam, laut dan darat, atau seperti apa yang mereka sebutkan, ikan yang bisa berjalan di daratan, tapi aku akan dengan santainya menjawab, "Di rumahku ada banyak ikan semacam itu. Glodok namanya."

Apa yang membuatku rindu rumah? Keluarga adalah jawabannya.

Kau tahu pelabuhan internasional Belawan? Tak sampai sepuluh menit dari rumahku. Ada banyak kapal ekspor barang disini. Juga ada kapal penumpang semacam kelud. Banyak wisatawan yang datang sekedar berselfie ria. Atau  ke OP misalnya? Mendengarkan musik sebuah band, lalu duduk memandangi ocean pasific? Tapi, sebagai penduduk lokal, mari aku perkenalkan banyak hal yang abai orang perhatikan. Stt... Kau harus menyewa boat bermesin jika ingin ke tempat ini. Saat kau menyewa boat seharian, biaya sewa berkisar antara 250-400 tergantung seberapa baik kau menawar. Tapi untuk wisatawan yang hanya berkeliling saja, biaya sewa kurang dari 100ribu. Dan satu boat bisa untuk delapan hingga sepuluh orang. Lumayan kalau bisa patungan.

:: Memancing ::

Ayahku adalah nelayan musiman. Hobinya memancing. Saat aku punya banyak waktu libur, ayahku akan mengajakku pergi memancing dengan sampan. Aku mengangguk setuju. Seringnya malah aku yang memaksa untuk diajak memancing. Masa bodoh dengan warna kulit yang menjadi lebih gelap. Aku lebih mencintai ayahku dan lautan. Kami bahkan sering memancing sekeluarga. Pernah satu masa, hujan turun tanpa tanda. Lalu setelah kehebohan dadakan itu, kami singgah dan berteduh di salah satu gubuk tengah laut entah milik siapa. Ayahku juga sering memancing keributan, mengganggu kami dengan lelucon usilnya agar kami tak sibuk dengan dunia kami sendiri.


Cobalah memancing di laut. Duduk di boat yang diayun ombak dan menikmati makan siang yang sudah kau siapkan. Kalau jika kau beruntung, akan ada banyak ikan untuk kau bawa pulang. Tapi, sedikit saran dariku, bawalah makanan yang banyak. Aku sendiri selalu lapar saat sedang di laut.


:: Pasir Putih ::

Aku akan berpikir dua kali untuk menginjakkan kaki ke Pasir Putih. Ratusan monyet menginvasi daerah ini dan menjadikannya sebagai daerah kekuasan mereka. Tapi, melihat ratusan monyet adalah pengalaman kang menakjubkan. Wisatawan yang bernyali, dan herannya malah banyak, suka membawakan sekarung pisang untuk monyet-monyet ini. Dan, apakah kau percaya bahwa ada manusia yang tinggal di daratan itu? Kau hanya harus melihatnya untuk percaya.


:: Hutan Mangrove ::

Ada banyak hutan bakau di kawasan Belawan. Saat aku berada di kawasan ini, wow, rimbunnya bakau dan lautan yang bebas sampah selalu membuatku serasa berlayar masuk ke era lain. Hijau, adem, aku merasa lebih bebas. Membuatku menjadi lebih positif. Bahwa ada banyak hal yang ternyata bisa diserhanakan.

Pohon mangrove juga tumbuh di depan rumahku. Ada buah pohon bakau besar berdiri megah di depan rumah. Waktu kecil, aku suka memanjat pohon itu, terkadang membawa makanan ke puncaknya dan bergaya seolah telah menaklukan pohon tertinggi di dunia. Kadang lainnya, aku malah menjadi penjelajah. 

Ada banyak sekali jenis pohon bakau. Satu yang paling kusuka adalah pohon prepat. Rasa dasar buah prepat adalah asam. Tapi, masuk hutan, mencari buahnya dan membuatnya menjadi rujak dengan menambahkan cabai, garam dan gula membuat masa itu tak tergantikan. Lengkap sudah, ada manis, asam, asin, dan pedas.








No comments:

Post a Comment