Friday, June 22, 2018

Sebuah Dongeng Untuk Generasi yang Tertidur 3

Jangan paksakan mereka mencintai apa yang mereka tidak sukai dengan menjejalkannya langsung pada mereka. Ubahlah sedikit, ubahlah resepnya, suapi mereka dengan cara yang berbeda. Wortel yang digigit mentah dan yang dibuat jus tetaplah wortel. Bentuknya saja yang berbeda.

Catatan sebelumnya: Klik di sini


Catatan 4:
Pernah aku terjaga di suatu waktu. Kupikir aku masih terbangun di negeriku sendiri tapi negeri yang kulihat lebih mirip sebuah negeri impian buatku. Di negeri itu, generasi muda mereka membantu menjaga kesatuan negerinya. Mereka berinovasi, saling membantu, menyebarkan cerita yang baik dan informasi yang bermanfaat. Negeri itu damai sekali. Setiap orang yang berada dalam kesulitan akan ditolong oleh orang lain. Lalu orang yang merasa tertolong tersebut juga menolong dua atau tiga orang lainnya. Seperti teori puncak gunung es, tiba-tiba saja tidak ada orang lagi yang mempunyai masalah karena selalu ada yang membantunya.

Untuk menjaga keutuhan negeri itu, generasi pemudanya saling menghargai, solidaritas dan mentelaah sebuah masalah serius bersama. Pernah juga, dalam waktu terjagaku yang singkat itu, aku melihat dua kelompok saling berseteru. Kupikir aku akan melihat aksi gladitor dadakan, ternyata aku salah. Aku terkesima. Jika seseorang dijelekkan dalam sebuah omongan, orang yang dicaci tersebut mengubrisnya pun tidak. Jika seseorang dijelekkan dalam sebuah tulisan, maka bentuk pembelaan yang ada juga dalam bentuk tulisan. Saling menulis kritik dalam bahasa yang baik, mengingatkan dan membenarkan kesalahan. Santun sekali tingkah mereka. Tidak ada pemblokiran media, tidak saling menyebar fitnah, juga tidak saling menghakimi. Pun tidak ada bentuk kekerasan fisik.

Aku terjaga? Pastilah aku salah karena negeri adalah negeri dongeng. Iya, kan? Detik itu juga aku berdoa, jika negeri itu hanya dalam mimpiku, tolong jangan bangunkan aku. Tapi mimpi itu buyar dengan segera. Seorang teman mengingatkanku, “Jika kau melihat negeri seindah itu dalam mimpimu, jangan terus tertidur, Teman. Bangunlah dan bagikan mimpimu itu dengan generasimu. Jika mimpi itu menjadi kenyataan, tak ada orang yang enggan untuk terbangun lagi.”

Haruskah aku melanjutkan tidurku untuk melihat negeri impian itu?


Catatan 5:

Aku tertidur. Aku benar-benar tertidur untuk memimpikan negeri itu. Tapi aku justru menemukan sepenggal cerita lainnya. Ada sebuah sekolah yang didirikan khusus untuk generasi yang ingin memperdalam agamanya. Dalam sekolah itu, aku melihat generasi muda sepertiku mempelajari agama. Membaca sebuah kitab yang ditulis dengan indah dan memahami maknanya dengan baik. Kitab itu tak hanya dibaca, mereka mentelaahnya, mendiskusikan isinya dan yang terakhir aku ketahui adalah mereka menjalankan perintah-perintah yang tertulis dalam kitab. Sesuatu yang tidak pernah aku sadari bahwa agama ada untuk menjadi pegangan sebuah kehidupan. Bukan untuk menentang eksistensi kehidupan itu sendiri.

Dalam sekolah khusus tersebut, ada banyak pengajar yang mencintai murid didiknya, bersedia berdiskusi dan menerima sanggahan, saling meluruskan kesalahan dan tetap ada senyum di wajah-wajah itu. Orang-orang di sepenggal cerita dalam mimpiku ini menghargai kehidupan dan bekerja sungguh-sungguh untuk persatuan dan kesatuan di negerinya. Mereka tidak hidup dalam kepompong steril seperti di negeriku dimana ada banyak hal yang difilter dan dicap berbahaya. Seolah kami terlalu bodoh untuk mencerna hal yang baik yang hal yang buruk. Begitulah adanya, terlalu banyak hal yang terfilter membuat sistem imun kami lemah. Sebuah gagasan yang berbeda dapat mencecoki kepala kami dengan mudah. Lalu kami memujuanya sebagai sebuah inovasi. Entah baik, entah buruk. 

Sepenggal cerita tentang sekolah khusus itu pun membuatku tak ingin terbangun. Teknologi berjalan dengan baik dan proses belajar tidak berjalan satu arah. Ingin sekali aku menuliskan apa yang mereka pelajari jika aku pun mengerti tentang topik bahasan mereka. Modernitas! Mungkin mereka sedang mempelajari arah kemajuan zaman yang tak pernah aku mengerti itu.

Ohh… Aku teringat kisahku dulu. Di negeriku yang nun jauh itu, sampai sekarang pun kami masih mengetok sebuah telivisi yang tiba-tiba kehilangan gambarnya. Sebuah alat canggih yang diperlakukan dengan cara purba...

Catatan selanjutnya: Klik di sini

No comments:

Post a Comment