Catatan sebelumnya: Klik di sini.
Catatan 3:
Di
negeriku itu, agama dan modernitas adalah dua hal yang berjalan paralel. Agama
hanya dikaitkan dengan akhirat dan modernitas dikaitkan dengan kehidupan dunia.
Abaikan saja fakta bahwa akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Di negeriku
yang nun jauh itu, kejayaan masa lalu hanya terdengar sebagai dongeng yang
diceritakan sebagai pengantar tidur. Bahwa, dulu sekali, entah di masa mana
itu, sebuah negeri pernah berjaya. Kisah itu kini diceritakan untuk dibanggakan
pada generasi berikutnya. Generasi yang terlahir sekadar pendompleng kebesaran sejarah. Lupakan masa
lalu? Jangan! Teruslah tertidur agar dongeng itu berkerja sempurna. Begitulah generasi
di negeriku, kami lebih memilih tertidur untuk mengulang rekaman sejarah itu
dalam mimpi.
Seperti layaknya mendengar dongeng, aku pun menyukai kisah-kisah ilmiah tentang pembangunan, teknologi, juga tentang politik yang selalu diisi oleh orang-orang bersih. Tulisan-tulisan itu menarik karena mampu membuat pembacanya terlihat intelek. Berbeda sekali dengan tulisan yang ditulis oleh kaum dari generasi pendahuluku bahwa setiap satu kalimat selalu diikuti oleh sebuah hadist pembenaran.
Seperti layaknya mendengar dongeng, aku pun menyukai kisah-kisah ilmiah tentang pembangunan, teknologi, juga tentang politik yang selalu diisi oleh orang-orang bersih. Tulisan-tulisan itu menarik karena mampu membuat pembacanya terlihat intelek. Berbeda sekali dengan tulisan yang ditulis oleh kaum dari generasi pendahuluku bahwa setiap satu kalimat selalu diikuti oleh sebuah hadist pembenaran.
Sejujurnya
generasiku tidak membenci seruan agama. Kami hanya tidak mengenalnya. Kami terlahir di satu generasi di sebuah
negeri yang terkikis ruhul jihadnya. Satu-satunya yang kami tahu adalah
agama adalah doktrin yang mutlak. Sesuatu yang tak dapat dibantah. Maka ketika
sebuah teori dan pernyataan diungkapan dengan dahlil agama maka kami yang masih
belum sepaham hanya akan mengabaikannya saja. Saat orang lain mengajari kami
dengan pemaksaan maka kami memilih pergi, mencari kebenaran lain yang lebih
mudah kami terima. Buah dari ketidaksatuan cara ini adalah anekdok bahwa
penganut sebuah agama justru membenci agamanya sendiri.
Orang-orang di negeriku juga terlalu cepat marah dan membawa semua hal atas nama agama. Ada banyak kasus yang harusnya sederhana tapi justru menjadi besar oleh sifat manusia. Sebuah postingan yang terlihat menyimpang dari agama akan langsung menjadi bahan cerita, di-share ribuan kali, bahkan lengkap dengan label dosa, haram dan kafirnya seolah-olah benar hal tersebut demikian nista. Agama tidak pernah salah, agama tidak pernah berdosa, pun yang membuat sebuah agama tampak hina adalah penganutnya. A country is its people. A religion is its believer. Orang-orang di negeriku lupa bersifat bijak. Bahwa sesungguhnya dengan mendiamkan masalah tersebut, dengan tidak menggubris dan mendebatkannya, dia telah menyelamatkan pandangan negatif orang lain tentang agamanya.
Aku pernah mendengar kalimat yang terucap tanpa sengaja bahwa tulisan dengan hadist itu membosankan. Sontak aku berang mendengarnya. Tapi, temanku pernah memberi saran, “Jika generasimu tidak menyukai hadist, tulislah nasihat baik itu dengan cara yang lain. Jangan paksakan mereka mencintai apa yang mereka tidak sukai dengan menjejalkannya langsung pada mereka. Ubahlah sedikit, ubahlah resepnya, suapi mereka dengan cara yang berbeda. Wortel yang digigit mentah dan yang dibuat jus tetaplah wortel. Bentuknya saja yang berbeda.”
Catatan selanjutnya: Klik di sini.
No comments:
Post a Comment