Adalah mimpi yang muluk untuk mengubah
sebuah negeri dengan sepenggal mantra alakadabra ketika negeri ini mempunyai
banyak persoalan yang nyata. Sebuah negeri? Kata itu harusnya diprasakan
menjadi lebih sederhana. Di negeriku, ketika membicarakan sebuah negeri,
orang-orang akan mengambil definisi terdekat yang mereka pahami: Negeri adalah sebuah
tatanan sistem berkeraturan yang saling terpaut nan penuh celah untuk dirusak.
Pun sama, cinta orang-orang di negeriku untuk negeri kian terkikis. Begitu juga
aku. Rasa cinta dan nasionalisme itu menguap perlahan, sebelum—mungkin akan hilang selamanya dan
menjadi apatis. Sebelum perasaan itu hilang dengan sempurna, izinkan aku
membuat beberapa catatan ini. Catatan ‘nyeleneh’, terkhusus untuk diriku
sendiri.
Catatan 1:
Aku
terlahir di negeri nun jauh. Setiap daerah di negeriku terpisah dan setiap
orang merasa bahwa mereka berbeda. Perbedaan itu indah adalah dongeng kedua
yang aku dengar sebelum tidur. Tapi, kadang perbedaan itu membuat aku dan
pemuda generasiku menjadi tinggi hati. Kami merasa menjadi sekelompok orang
yang lebih baik. Sekolompok lainnya yang kehilangan keyakinan diri akan menjadi
minder dan merasa tak layak untuk berjalan berdampingan dengan kelompok lain
yang terlihat lebih baik. “Begitulah sebuah perbedaan. Tugas kita hanya
melihatnya saja,” dalih seorang pemuda dari generasi di negeriku yang nun jauh
itu ketika melihat bahwa perbedaan menciptakan kesenjangan.
Di negeri tempatku terlahir, ada sekelompok generasi yang lebih menghargai uang dibanding kemanusiaan. Bahwa hukum pun ikut membedaan korbannya berdasarkan faktor tersebut. Benda diciptakan untuk dicintai dan manusia diciptakan untuk dimanfaatkan. Kenyataan yang aneh sekali, bukan? Maka tertidurlah. Seperti kata temanku yang lain, “Aku pernah bermimpi tentang sebuah negeri yang mempunyai semboyan walaupun berbeda tetapi kita satu juga. Saat aku terbangun dari mimpi, aku ingin terbangun di negeri itu.”
Di negeri tempatku terlahir, ada sekelompok generasi yang lebih menghargai uang dibanding kemanusiaan. Bahwa hukum pun ikut membedaan korbannya berdasarkan faktor tersebut. Benda diciptakan untuk dicintai dan manusia diciptakan untuk dimanfaatkan. Kenyataan yang aneh sekali, bukan? Maka tertidurlah. Seperti kata temanku yang lain, “Aku pernah bermimpi tentang sebuah negeri yang mempunyai semboyan walaupun berbeda tetapi kita satu juga. Saat aku terbangun dari mimpi, aku ingin terbangun di negeri itu.”
Catatan 2:
Kehidupan
pemuda di generasiku selalu penuh dengan dikte. Sistem memaksa kami menjadi
zombie yang mengikuti satu hal ke hal lainnya tanpa banyak bertanya. Pun sama,
pendidikan yang kami terima adalah garis lurus saja. Tahap satu, dua dan tiga
secara berkesinambungan. Tetap sama, tanpa harus kami bantah. Orang tua dan
guru sudah menetapkan mana baiknya yang harus kami lakukan.
Kami
menurut dan kami masih mempunyai masalah: Manusia selalu membandingkan.
Generasiku
dituntut untuk bisa menguasai semua pelajaran sekolah, untuk selalu menjadi
juara, untuk mengerti semua hal yang kami pelajari dan setumpuk tugas yang
harus diselesaikan. Menjadi kompetitif adalah tujuan utama. Di satu sisi, sifat
kompetitif itu menjadi pemicu untuk berbuat lebih baik. Di sisi lain, sifat
kompetitif itu membunuh semua minat kami pada hal lain.
Apa
itu semua negeri? Definisi itu hanya dimengerti oleh sebagian golongan. Adalah mimpi
yang muluk untuk mengubah sebuah negeri dengan sepenggal mantra alakadabra
ketika negeri ini mempunyai banyak persoalan yang nyata. Sedihnya, dalam generasi
itu, orang-orang justru bertanya. “Apa persoalan yang sedang dihadapi oleh
negeri ini?” Media lebih banyak menyuguhkan sampah. Dan ketika manusia hanya
mengkonsumsi sampah, maka sampah pulalah yang dihasilkannya. Berita dimanipulasi,
pers berpihak pada golongan, pemimpin hanya mementingkan diri sendiri dan
kelompoknya. Hal apakah lagi yang patut untuk dipercayai?
Ketidakpercayaan
itu membuat pemuda di satu generasiku kehilangan identitas diri. Ketika agama
dan masyarakat tak berjalan bersama, ketika media dan masyarakat berjalan
bersama tanpa kejujuran, generasiku terpenjara pada teknologi yang membuai.
Kami bercerita pada dinding dan menjadi burung biru penuh kicauan sebagai
pelarian. Egois bukan kata yang tepat untuk mendeskripsikan generasi di
negeriku. Kami hanya tak tahu kami mempunyai masalah. Seserhana itu.
Catatan selanjutnya: Klik di sini
Catatan selanjutnya: Klik di sini
No comments:
Post a Comment