Friday, October 26, 2018

Cerpen: Lukisan Jalanan

Cerpen ini pernah ditebitkan di koran Waspada.
Tidak ada yang perlu dikeluhkan tentang panas matahari. Terutama bagi Asha, gadis berkulit coklat yang sudah berteman dengan matahari. Ya, dia dan matahari adalah sahabat. Dia juga sudah bersahabat dengan aroma busuk sampah yang menjadi pewangi khas kampungnya. Oh, bolehkah dia memperkenalkan kampungnya lebih dulu? Kampung itu bernama Sting. Sting kecil yang diapit oleh gedung-gedung baja dan besi yang menjulang tinggi 
Orang-orang, mungkin orang seperti kau juga, akan berkoar menyebut Sting sebagai kampung kumuh yang mengotori mata. Sebuah noda yang harus dihapuskan agar tata kota tampak lebih indah. Uniknya, Sting adalah noda membandel yang tak pernah benar-benar bisa dihapuskan.

“Asha, disana ada hiburan. Kau gak nonton?” teriak Pati. Lelaki kurus yang juga berteman dengan matahari.
“Dimana? Ayoklah, aku juga mau nonton.”
Hiburan itu adalah pertunjukkan gladiator yang sering muncul dadakan. Pertunjukkan yang lebih nyata sebab di Sting, gladiator adalah manusia yang bertarung dengan manusia lainnya. Entah untuk sekerat daging atau sebatang rokok atau cerita harian tentang saling meludah saja. Tak ada yang perduli alasannya. Tak ada yang perduli juga walau kadang pertempuran itu tak seimbang. Mereka hanya ingin Sting seterknel Roma dengan gladiatornya yang mendunia.
Belum sempat hiburan itu selesai, seseorang datang membawa hiburan lainnya. Dia berlari dan berteriak, membuat warga penghuni Sting berkerumunan penasaran mencari tahu apa yang dia ingin katakan. “Kampung kita akan dibakar. Kampung kita akan dibakar,” teriaknya.
Hiburan sekilas lalu semua orang kembali tak acuh. Tak ada kepanikan. Semua orang hanya diam dan melakukan aktifitasnya kembali. Sebagian dari mereka hanya duduk menikmati aroma kopi ditemani kepulan asap rokok memandangi langit. Bahkan, tidak ada yang bertanya dari mana orang tersebut mendapat informasi.
Berita basi! Mereka, yang mencoba membakar Sting akan selalu berakhir pada kegagalan. Mereka yang sudah pernah hampir berhasil membakar Sting juga akhirnya gagal, dia membawa kehormatan kaumnya dengan mati dihakimi massa. Sting adalah imitasi Las Vegas. Penghuninya tidak pernah tidur. Mereka selalu mencari makan siang dan malam untuk menjawab teriakan kelaparan yang entah kenapa tak pernah berhenti itu. Hal yang menguntungkan adalah mereka tak pernah cacingan. Sebab, cacing-cacing pun akan mati kelaparan.
***
Asha berjalan gontai menyaksikan para pria berdasi yang keluar dari gedung nan tinggi bercerita dengan telpon genggam mereka. Ada saja yang membusung. Sebagian membusungkan dada dan sebagian lagi membusungkan perut mereka. Mereka terlihat sangat terhormat.
Kehormatan itu juga ada pada Asha, Pati dan penghuni Sting lainnya. Kau tahu kenapa? Sebab di Sting, orang-orang suka berkumpul menggosipkan para pria berdasi dan artis-artis yang selalu memenuhi siaran televisi. Berkulit putih, rupawan dan terlihat pintar adalah sebuah kehormatan. Bagi Asha dan lainnya, kehormatan itu adalah memuji mereka yang terhormat.
Saat matahari menyembunyikan dirinya. Tanpa wangi keringat dan hangus kulit, aroma sampah menjadi wewangian utama malam hari. Tanpa saingan.
“Kebakaran. Kebakaran.” teriak warga yang melihat kumpulan api yang semakin mengganas. Kayu, kertas dan plastik yang bertumpuk di Sting membuat si jago merah semakin jago saja.
“Kebakaran. Kebakaran,” warga mulai berteriak lebih keras membangunkan warga lainnya.
“Kebakaran. Kebakaran,” teriakan satu menjawab teriakan lainnya.
Warga tak sempat panik. Mereka mencari air untuk memadamkan api, melemparinya dengan tanah dan mencoba segala usaha lainnya. Mereka sudah terlatih menghadapi masalah ini. Tak ada satu pun warga yang mencoba menyelamatkan barang berharga mereka. Mereka tahu bahwa mereka tidak punya barang berharga. Mereka hanya punya waktu yang konon katanya berharga.
Pemadam kebakaran hanya terlihat seperti anak ingusan jika disandingkan dengan mereka. Petugas pemadam kebakaran tak membantu sama sekali. Jalanan kecil menuju Sting tak dapat dilalui oleh otot-otot mobil mereka yang kekar.  
Sekejab saja, warna hitam memonopoli Sting. Sting kini benar-benar menjadi titik hitam dalam peta kota metropolis. Berita kebakaran ini juga terekspos media. Tajuk utama berita selalu mengatakan kelalaian warga. Sebagai pembaca, kau juga mungkin setuju dengan berita itu, salah mereka memang kenapa lalai menangkap orang yang membakar Sting.
Esok harinya, mereka menjadi topeng monyet. Banyak orang, yang mengaku dirinya manusia, datang melihat Sting dan penghuninya. Mereka datang melihat-lihat, meninggalkan rasa jijik mereka dan koin recehan yang tersisa. Para artis yang disanjung oleh penghuni Sting juga berusaha menunjukkan bahwa mereka peduli. Penghuni Sting tak acuh lagi. Sunatan demi sunatan dana selalu meninggalkan recehan tak berharga ke kantong warga.
Penghuni Sting tetap hidup tanpa bantuan. Juga tanpa umpatan. Orang-orang di Sting tak mengumpat pelakunya. Mereka sadar bahwa mereka adalah noda. Dan hukum dimanapun mengatakan noda harus dibersihkan.
***
Penghuni Sting tetap hidup. Dalam sekejab, aroma sampah menghilang dan aroma hangus menjadi raja. Para warga saling mmbantu lainnya membangun rumah dari sisa sisa kayu, kardus atau apapun yang dapat mereka kumpulkan. Media masih heboh memberitakan kebakaran ini mengatakan kerugian akibat kebakaran mencapai ratusan juta. Padahal mereka sendiri tidak merasa rugi. Sejak awal, puing-puing bukanlah apa-apa.
Sebuah tim yang kreatif menjual gelang bertuliskan “Solidarity” dan mengatakan bahwa keuntungan dananya akan dialokasikan untuk membantu Sting yang terbakar itu. Gelang-gelang itu laris manis, habis dibeli mereka yang mencoba membeli rasa solidaritas. Disisi lain, ada kotak yang bertulisakan “Koin Peduli” yang diisi oleh mereka yang mencoba untuk peduli.
“Asha,” teriak Pati memanggil namanya. “Disana ada orang yang nawari kita kerjaan. Kau gak ikutan?
Asha mengikuti Pati menuju kerumunan orang yang mendaftar menjadi pekerja harian. Sebagian dari mereka diperkerjakan untuk memberi warna hitam putih pada pembatas jalanan. Sebagian lagi dipekerjakan untuk menjadi warga gadungan untuk menciptakan propaganda di tempat yang tercap noda lainnya. Propaganda diciptakan dan para penghuni merasa tak betah lalu pindah atau tetap kukuh disana dan menunggu dibakar juga. Penghuni Sting jugalah yang akan membakar Sting lainnya. Sting juga bermakna sudah sinting.
Asha dan Pati memilih melukis warna hitam dan putih dengan gaji seadanya. Tapi siapa yang perduli? Jika mereka tak mau menerimanya maka mereka tidak akan mendapat apa-apa. Menuntut kesetaraan tidak menghasilkan apapun. Melukis warna hitam putih jalanan membayangkan kisah hitam putih hidup membuat mereka memilik sedikit harapan. Ada hitam dan putih.
“Kau kepanasan?” tanya Pati
“Panas? Apa itu?”
Guyonan mereka membuat matahari lebih tampak ramah dan lukisan hitam dan putih itu selesai juga. Pria tua yang mengawasi pekerjaan itu memperbolehkan mereka membawa sisa catnya. Saat malam tiba, Asha tertidur mendengar kor lagu yang dibawakan nyamuk-nyamuk. Kali ini tanpa kor lagu kelaparan.
***
Sting masih berwarna hitam. Di depan rumahnya, yang beruntunglah tak terbakar, Asha berdiri mengamati keseluruhan Sting. Dia yakin bahwa Sting benar-benar tak membutuhkan warna hitam lagi. Asha pun mengambil sisa catnya dan menggunakan sisa warna putih untuk melukis seadanya. Dimana pun yang dia suka.
Di Sting yang hitam, warna putih sekecil apapun pasti tampak indah. Sebab warna hitam melenyapkan semuanya. Buktinya, tim kreatif yang menjual gelang-gelang itu dan kotak koin peduli hilang entah kemana. Media tidak lagi mengekspos berita kebakaran di Sting. Tidak ada lagi artis yang berdatangan. Dan tidak ada lagi pertunjukan topeng monyet. Ah, sudah berapa lamakah kebakaran itu terjadi? Sting sekali lagi menjadi noda hitam.
Kabar baiknya, hujan tak melupakan Sting. Hujan turun deras membasahi Sting. Memadamkan bara-bara kayu menjadi arang, meninggalkan asap-asap yang kemudian menghilang. Debu-debu hitam yang menutupi Sting tersapu hujan. Walau Sting tetap berwarna hitam, kini hitam tanpa kelam.

No comments:

Post a Comment