Cerpen ini pernah ditebitkan di koran Waspada. |
Tidak
ada yang perlu dikeluhkan tentang panas matahari. Terutama bagi Asha, gadis
berkulit coklat yang sudah berteman dengan matahari. Ya, dia dan matahari
adalah sahabat. Dia juga sudah bersahabat dengan aroma busuk sampah yang
menjadi pewangi khas kampungnya. Oh, bolehkah dia memperkenalkan kampungnya lebih
dulu? Kampung itu bernama Sting. Sting kecil yang diapit oleh gedung-gedung baja
dan besi yang menjulang tinggi
Orang-orang,
mungkin orang seperti kau juga, akan berkoar menyebut Sting sebagai kampung
kumuh yang mengotori mata. Sebuah noda yang harus dihapuskan agar tata kota
tampak lebih indah. Uniknya, Sting adalah noda membandel yang tak pernah
benar-benar bisa dihapuskan.
“Asha,
disana ada hiburan. Kau gak nonton?” teriak Pati. Lelaki kurus yang juga
berteman dengan matahari.
“Dimana?
Ayoklah, aku juga mau nonton.”
Hiburan
itu adalah pertunjukkan gladiator yang sering muncul dadakan. Pertunjukkan yang
lebih nyata sebab di Sting, gladiator adalah manusia yang bertarung dengan
manusia lainnya. Entah untuk sekerat daging atau sebatang rokok atau cerita
harian tentang saling meludah saja. Tak ada yang perduli alasannya. Tak ada
yang perduli juga walau kadang pertempuran itu tak seimbang. Mereka hanya ingin
Sting seterknel Roma dengan gladiatornya yang mendunia.
Belum
sempat hiburan itu selesai, seseorang datang membawa hiburan lainnya. Dia berlari
dan berteriak, membuat warga penghuni Sting berkerumunan penasaran mencari tahu
apa yang dia ingin katakan. “Kampung kita akan dibakar. Kampung kita akan
dibakar,” teriaknya.
Hiburan
sekilas lalu semua orang kembali tak acuh. Tak ada kepanikan. Semua orang hanya
diam dan melakukan aktifitasnya kembali. Sebagian dari mereka hanya duduk
menikmati aroma kopi ditemani kepulan asap rokok memandangi langit. Bahkan, tidak
ada yang bertanya dari mana orang tersebut mendapat informasi.
Berita
basi! Mereka, yang mencoba membakar Sting akan selalu berakhir pada kegagalan.
Mereka yang sudah pernah hampir berhasil membakar Sting juga akhirnya gagal,
dia membawa kehormatan kaumnya dengan mati dihakimi massa. Sting adalah imitasi
Las Vegas. Penghuninya tidak pernah tidur. Mereka selalu mencari makan siang
dan malam untuk menjawab teriakan kelaparan yang entah kenapa tak pernah berhenti
itu. Hal yang menguntungkan adalah mereka tak pernah cacingan. Sebab, cacing-cacing
pun akan mati kelaparan.
***
Asha
berjalan gontai menyaksikan para pria berdasi yang keluar dari gedung nan
tinggi bercerita dengan telpon genggam mereka. Ada saja yang membusung. Sebagian
membusungkan dada dan sebagian lagi membusungkan perut mereka. Mereka terlihat
sangat terhormat.
Kehormatan
itu juga ada pada Asha, Pati dan penghuni Sting lainnya. Kau tahu kenapa? Sebab
di Sting, orang-orang suka berkumpul menggosipkan para pria berdasi dan artis-artis
yang selalu memenuhi siaran televisi. Berkulit putih, rupawan dan terlihat
pintar adalah sebuah kehormatan. Bagi Asha dan lainnya, kehormatan itu adalah
memuji mereka yang terhormat.
Saat
matahari menyembunyikan dirinya. Tanpa wangi keringat dan hangus kulit, aroma
sampah menjadi wewangian utama malam hari. Tanpa saingan.
“Kebakaran.
Kebakaran.” teriak warga yang melihat kumpulan api yang semakin mengganas.
Kayu, kertas dan plastik yang bertumpuk di Sting membuat si jago merah semakin
jago saja.
“Kebakaran.
Kebakaran,” warga mulai berteriak lebih keras membangunkan warga lainnya.
“Kebakaran.
Kebakaran,” teriakan satu menjawab teriakan lainnya.
Warga
tak sempat panik. Mereka mencari air untuk memadamkan api, melemparinya dengan
tanah dan mencoba segala usaha lainnya. Mereka sudah terlatih menghadapi
masalah ini. Tak ada satu pun warga yang mencoba menyelamatkan barang berharga
mereka. Mereka tahu bahwa mereka tidak punya barang berharga. Mereka hanya
punya waktu yang konon katanya berharga.
Pemadam
kebakaran hanya terlihat seperti anak ingusan jika disandingkan dengan mereka. Petugas
pemadam kebakaran tak membantu sama sekali. Jalanan kecil menuju Sting tak
dapat dilalui oleh otot-otot mobil mereka yang kekar.
Sekejab
saja, warna hitam memonopoli Sting. Sting kini benar-benar menjadi titik hitam
dalam peta kota metropolis. Berita kebakaran ini juga terekspos media. Tajuk
utama berita selalu mengatakan kelalaian warga. Sebagai pembaca, kau juga
mungkin setuju dengan berita itu, salah mereka memang kenapa lalai menangkap
orang yang membakar Sting.
Esok
harinya, mereka menjadi topeng monyet. Banyak orang, yang mengaku dirinya
manusia, datang melihat Sting dan penghuninya. Mereka datang melihat-lihat, meninggalkan
rasa jijik mereka dan koin recehan yang tersisa. Para artis yang disanjung oleh
penghuni Sting juga berusaha menunjukkan bahwa mereka peduli. Penghuni Sting
tak acuh lagi. Sunatan demi sunatan dana selalu meninggalkan recehan tak
berharga ke kantong warga.
Penghuni
Sting tetap hidup tanpa bantuan. Juga tanpa umpatan. Orang-orang di Sting tak
mengumpat pelakunya. Mereka sadar bahwa mereka adalah noda. Dan hukum dimanapun
mengatakan noda harus dibersihkan.
***
Penghuni
Sting tetap hidup. Dalam sekejab, aroma sampah menghilang dan aroma hangus
menjadi raja. Para warga saling mmbantu lainnya membangun rumah dari sisa sisa kayu,
kardus atau apapun yang dapat mereka kumpulkan. Media masih heboh memberitakan
kebakaran ini mengatakan kerugian akibat kebakaran mencapai ratusan juta. Padahal
mereka sendiri tidak merasa rugi. Sejak awal, puing-puing bukanlah apa-apa.
Sebuah
tim yang kreatif menjual gelang bertuliskan “Solidarity” dan mengatakan bahwa
keuntungan dananya akan dialokasikan untuk membantu Sting yang terbakar itu. Gelang-gelang
itu laris manis, habis dibeli mereka yang mencoba membeli rasa solidaritas.
Disisi lain, ada kotak yang bertulisakan “Koin Peduli” yang diisi oleh mereka
yang mencoba untuk peduli.
“Asha,”
teriak Pati memanggil namanya. “Disana ada orang yang nawari kita kerjaan. Kau
gak ikutan?
Asha
mengikuti Pati menuju kerumunan orang yang mendaftar menjadi pekerja harian.
Sebagian dari mereka diperkerjakan untuk memberi warna hitam putih pada
pembatas jalanan. Sebagian lagi dipekerjakan untuk menjadi warga gadungan untuk
menciptakan propaganda di tempat yang tercap noda lainnya. Propaganda
diciptakan dan para penghuni merasa tak betah lalu pindah atau tetap kukuh
disana dan menunggu dibakar juga. Penghuni Sting jugalah yang akan membakar
Sting lainnya. Sting juga bermakna sudah sinting.
Asha
dan Pati memilih melukis warna hitam dan putih dengan gaji seadanya. Tapi siapa
yang perduli? Jika mereka tak mau menerimanya maka mereka tidak akan mendapat
apa-apa. Menuntut kesetaraan tidak menghasilkan apapun. Melukis warna hitam
putih jalanan membayangkan kisah hitam putih hidup membuat mereka memilik
sedikit harapan. Ada hitam dan putih.
“Kau
kepanasan?” tanya Pati
“Panas?
Apa itu?”
Guyonan
mereka membuat matahari lebih tampak ramah dan lukisan hitam dan putih itu
selesai juga. Pria tua yang mengawasi pekerjaan itu memperbolehkan mereka membawa
sisa catnya. Saat malam tiba, Asha tertidur mendengar kor lagu yang dibawakan
nyamuk-nyamuk. Kali ini tanpa kor lagu kelaparan.
***
Sting
masih berwarna hitam. Di depan rumahnya, yang beruntunglah tak terbakar, Asha berdiri mengamati keseluruhan Sting.
Dia yakin bahwa Sting benar-benar tak membutuhkan warna hitam lagi. Asha pun mengambil
sisa catnya dan menggunakan sisa warna putih untuk melukis seadanya. Dimana pun
yang dia suka.
Di
Sting yang hitam, warna putih sekecil apapun pasti tampak indah. Sebab warna
hitam melenyapkan semuanya. Buktinya, tim kreatif yang menjual gelang-gelang itu
dan kotak koin peduli hilang entah kemana. Media tidak lagi mengekspos berita
kebakaran di Sting. Tidak ada lagi artis yang berdatangan. Dan tidak ada lagi
pertunjukan topeng monyet. Ah, sudah berapa lamakah kebakaran itu terjadi?
Sting sekali lagi menjadi noda hitam.
Kabar
baiknya, hujan tak melupakan Sting. Hujan turun deras membasahi Sting. Memadamkan
bara-bara kayu menjadi arang, meninggalkan asap-asap yang kemudian menghilang. Debu-debu
hitam yang menutupi Sting tersapu hujan. Walau Sting tetap berwarna hitam, kini
hitam tanpa kelam.
No comments:
Post a Comment